gili air beach, lombok. west nusa tenggara

bersama teman-teman alumni NH 07.

teknologi pendidikan, universitas negeri yogyakarta.

kabinet HIMA TP 2010, bukan saatnya beretorika, saatnya beraksi

Teknologi Pendidikan goes to malang 2011

rest area. batu malang, east java

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Selasa, 31 Mei 2011

Guru Krisis Kreativitas


Guru merupakan sosok makhluk serba bisa dan sekaligus memiliki kewibawaan yang tinggi di hadapan murid maupun di masyarakat (Earl V Pullias dan James D Young).

Apapun yang terjadi dalam dunia pendidikan, yang pertama disorot adalah guru. Mengapa? Guru memainkan peranan yang begitu besar, aktor utama dari proses belajar dan pembelajaran. Guru secara langsung maupun tidak, mempengaruhi masa depan, khususnya karakter siswa. Guru adalah sorotan utama, panutan peserta didik. Oleh karena itu, guru dituntut memainkan peran idealnya sebagai makhluk serba bisa. Seorang guru harus mampu menjadi tempat berkeluh kesah dan bersandar siswa, teman diskusi, serta menjadi inspirasi. Bagaimana dengan guru-guru kita?

Potret yang mencerminkan gambaran ideal tersebut masih moniritas. Meminjam istilah Ivan Illich, pemandangan di sekolah justru bagaikan penjara. Siswa-siswa seperti tawanan penjara, guru memainkan peranannya sebagai seorang diktator, hakim, dan komandan perang. Guru-guru tidak lagi membutuhkan kecerdasan, kedalaman ilmu pengetahuan, kepedulian, toleransi tanggung jawab, dst. Yang dibutuhkan adalah mampu berdiri di depan dengan gertakan serta teriakan yang keras sehingga siswa menunduk dan mengangguk.

Ketika siswa melakukan kesalahan, hukuman yang diberikan cenderung bersifat fisik seperti berdiri di depan kelas dengan mengangkat sebelah kaki hingga secara psikis siswa merasa malu. Proses di atas tentu akan mencederai pertumbuhan dan perkembangan siswa. Bahkan, akan memperlemah bangunan jiwa dan batin siswa. Mental generasi dari persekolahan semacam itu adalah penakut, pengecut, dan mental orang terjajah yang tidak punya rasa untuk melawan.

Sekolah adalah lembaga pendidikan. Sudah semestinya segala sesuatu yang terjadi di dalamnya mengandung unsur mendidik. Jika memang ada siswa yang melanggar, sanksi yang diberikan semestinya lebih kreatif. Ia dapat memberikan sanksi edukatif, seperti pemecahan masalah, perenungan, dsb. Diharapkan muncul kesadaran, perasaan bersalah atas apa yang dilakukan, bukan ketakutan.

Mengapa guru sangat menakutkan? Menurut Darmaningtyas, mereka yang menjadi guru bukanlah tipe pembaru, tapi tipe orang-orang yang mencari kemapanan dan rasa aman dengan menjadi guru negeri (PNS). Tidak mengherankan jika guru-guru tersebut menyampaikan materi dengan metode seadanya. Bagi mereka, yang terpenting adalah menyampaikan materi hingga batas waktu yang ditentukan.

Guru bukanlah tutor yang hanya menyampaikan materi tetapi sekaligus menjadi panutan. Guru juga bertugas memberikan nilai-nilai positif kepada peserta didik. Darmaningtyas melukiskan profesi guru yang sebenarnya : yang mendidik, membimbing, dan memberikan inspirasi kepada murid-muridnya.

Sosok seorang guru yang baik adalah orang yang mampu memberikan inspirasi kepada muridnya untuk melakukan tindakan terpuji dan membawa kemaslahatan bagi sesama. Guru harus sadar bahwa ia adalah pembentuk generasi aset bangsa. Guru senantiasa harus tetap belajar, belajar, dan belajar, sehingga tidak mengalami krisis kreativitas saat berproses bersama siswa.

Menjadi seorang guru adalah kebanggaan atas pengabdian kepada bangsa dan negara. Jutaan rakyat Indonesia masih membutuhkan pendidikan. Siapa sang pencerah yang akan memberikan cahaya kepada mereka? Guru kan?

Laloe Wirja, Mahasiswa Teknologi Pendidikan

Senin, 31 Januari 2011

Mahasiswa Mahasiswa

garis keras... Generasi bangsa yang bernama mahasiswa kini asyik meniru tingkah para politisi, mental yang dibangun kemudian adalah mental birokrasi, mental peminta dan hipokrit. Begitulah uraian pendapat saya tentang penglihatan saya kepada tokoh-tokoh kampus. Pemilwa yang dilaksanakan pada bulan desember lalu memberikan pandangan yang cukup jelas. Kekuasaan merupakan tujuan yang tertanam pada diri mereka. Mereka berkelompok-kelompok, membangun ideologi masing-masing guna menambah pengikut masing-masing. Sudah tidak ada lagi semangat kebersamaan, pondasi kebersamaan tersebut telah hancur berkeping-keping. Kini kepingan-kepingan tersebut lah yang tumbuh dan berkembangbiak memberantas sekian yang tersisa, dengan mengatas namakan identitas kelompok masing-masing mereka kehausan dan kelaparan akan sebuah jabatan. Cukup miris melihat kondisi ini.
Melihat tingkah para elit mahasiswa tersebut, sejujurnya mereka tidak pernah memiliki hati yang tulus untuk mementingkan kepentingan rakyat dan bangsa ini, melainkan mereka telah berkoalisi dengan para elit di negeri ini. Mereka telah mengkhianati perjuangan yang telah dibangun oleh mahasiswa-mahasiswa terdahulu. Mereka telah mengkhianati sumpah pemuda.
Saya adalah mahasiswa polos, namun saya masih punya i`tikad memperjuangkan rakyat, Rakyat Indonesia. (Lalu Wirya Artapati)